Suarasulbar.id, Mamuju — Kekerasan berbasis gender (KBG) di Kabupaten Mamuju masih menjadi persoalan serius yang belum tertangani secara menyeluruh. Budaya patriarki yang mengakar, lemahnya penegakan hukum, dan minimnya layanan pendampingan menjadi tantangan utama dalam melindungi korban.
Melihat situasi tersebut, Yayasan Kartini Manakarra tampil sebagai garda terdepan dengan komitmen kuat membela hak-hak perempuan dan anak. Bekerja sama dengan KAPAL Perempuan, yayasan ini menggelar diskusi publik bertajuk “Penguatan Peran Perempuan Pembela HAM dalam Pencegahan dan Penanganan KBG” yang dilaksanakan di Teater Gedung Serbaguna Mamuju, Kamis 10 Juli.
Direktur Yayasan Kartini Manakarra, Dian Dhaniati, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program strategis yayasan untuk memperkuat kapasitas Perempuan Pembela HAM (PPHAM) di tingkat akar rumput.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami ingin membekali para PPHAM dengan pemahaman hukum, keterampilan advokasi, serta kemampuan dalam mendampingi korban. Selain itu, kami membangun jejaring kuat dengan lembaga pemerintah, masyarakat sipil, hingga komunitas desa agar perlindungan korban berjalan maksimal,” ujar Dian.
Yayasan Kartini Manakarra secara konsisten membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan gender. Dian menegaskan bahwa perubahan hanya bisa dicapai melalui kolaborasi lintas sektor.
“Tidak bisa hanya satu-dua aktor yang bergerak. Pemerintah, aparat hukum, lembaga masyarakat sipil, dan tokoh desa harus bahu-membahu menciptakan ruang aman bagi korban,” tambahnya.
Data dari P2TP2A Sulbar mencatat sepanjang 2023 terdapat 164 korban kekerasan berbasis gender, 143 di antaranya adalah perempuan. Kabupaten Mamuju mencatat angka tertinggi dengan 78 korban, didominasi oleh kasus kekerasan seksual (82), kekerasan fisik (72), dan psikis (44).
“Selama budaya diam dan rasa takut masih hidup dalam masyarakat, korban akan terus terjebak dalam siklus kekerasan. Yayasan Kartini hadir untuk menciptakan ruang bicara, ruang aman, dan mendorong sistem yang berpihak pada korban,” tegas Dian.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA) Mamuju, Masyita Syam, mengakui tingginya angka KBG di daerahnya. Menurutnya, banyak korban KDRT menarik laporan karena tekanan ekonomi, karena pelaku merupakan tulang punggung keluarga.
“Budaya patriarki juga membuat korban enggan melapor karena takut menanggung malu,” ungkapnya.
Maraknya praktik perkawinan anak turut memperburuk situasi. Masyita menyebut, masih banyak masyarakat yang keliru memahami kesiapan anak perempuan untuk menikah hanya berdasarkan usia biologis.
“Kami terus melakukan edukasi untuk mematahkan pandangan seperti itu. Yayasan Kartini juga jadi mitra penting kami di lapangan,” ujarnya.
DPPA Mamuju saat ini telah melahirkan empat Perda terkait pengarusutamaan gender, termasuk Perda No. 8 Tahun 2023. Namun, pendirian UPTD rumah singgah layanan korban masih menunggu regulasi bupati.
Dari sisi penegakan hukum, Kanit PPA Polresta Mamuju, Ipda Saskia, mengungkapkan KDRT menjadi kasus terbanyak yang dilaporkan. Namun, proses hukum seringkali terhambat oleh keinginan damai dari korban melalui restorative justice, meskipun secara ideal hukum tetap harus berjalan.
Sementara itu, praktisi hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Tomakaka, Sukmawati, menyoroti hambatan kultural di wilayah pedalaman.
“Saya pernah dampingi kasus di Kalumpang yang hanya diselesaikan secara adat. Setelah kena sanksi adat, kasus tak bisa naik ke pengadilan. Ini menjadi tantangan dalam penegakan hukum,” ujarnya.
Dalam kondisi ini, Yayasan Kartini Manakarra menegaskan peran penting perempuan pembela HAM sebagai garda terdepan dalam perlindungan korban. Mereka tidak hanya mendampingi, tetapi juga mengadvokasi, mengedukasi masyarakat, serta memperkuat layanan di tingkat desa. Namun tantangan yang dihadapi tidak ringan mulai dari beban kerja tinggi, keterbatasan dana, hingga risiko keamanan.
Diskusi publik ini menjadi langkah nyata Yayasan Kartini Manakarra mendorong kesadaran kolektif bahwa KBG adalah persoalan sistemik. Perempuan pembela HAM tidak hanya butuh pelatihan, tapi juga perlindungan, dukungan anggaran, dan pengakuan formal dari negara.
“Kami percaya perubahan bisa dimulai dari komunitas. Dan Yayasan Kartini akan terus berdiri bersama para perempuan pembela HAM di garis depan perjuangan ini,” tutup Dian Dhaniati.
Penulis : Muhammad Taufiq Hidayat