Sabtu siang itu, langkah saya terhenti di tepi Sungai Pebulahangan. Pandangan langsung tertuju pada jembatan gantung yang dua hari lalu nyaris ambruk. Tali sling yang karatan terlihat seperti urat tua yang sudah kehilangan tenaga, tapi tetap dipaksa menopang denyut hidup ratusan orang.
Di seberang sana, Tuleng sibuk menambatkan rakit kecilnya. “Lima ribu kalau motor kosong, kalau bawa barang sepuluh ribu, Pak,” katanya. Ucapannya ringan, seolah biasa saja. Padahal di balik rakit bambu sederhana itu, tergantung keselamatan dan kebutuhan seluruh warga Pebulahangan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak jauh, Hamid tukang ojek pegunungan tertawa kecil saat bercerita. “Motor saya ada dua. Satu di sini, satu di seberang. Jadi kalau ada barang, ya dipikul dulu, baru lanjut dengan motor satunya.” Tawa Hamid menyembunyikan lelah, tapi juga memperlihatkan betapa manusia di kampung selalu punya cara bertahan, bahkan dalam keadaan sulit.
Namun yang paling menusuk hati adalah cerita Musriadi, guru SMP SATAP Lombang. Ia mengaku sejak jembatan itu rusak, siswanya yang tinggal di seberang jarang hadir. “Hari pertama, tidak ada satu pun yang datang,” ucapnya pelan. Di matanya saya melihat kegelisahan: bagaimana mungkin sebuah jembatan yang roboh bisa meruntuhkan semangat belajar generasi muda?
Di balik deru arus sungai, suara seorang warga, Nadi, menutup perjalanan hari itu. “Kami susah, Pak. Ke sekolah susah, ke pasar susah. Jembatan ini nyawa kami.” Suaranya lirih, tapi penuh harap. Harapan yang sederhana: sebuah jembatan yang kuat agar hidup bisa berjalan normal kembali.
Saya pulang dengan dada sesak. Jembatan itu memang tua, tapi kisah manusia di sekitarnya jauh lebih kuat.
Mereka bertahan, beradaptasi, dan terus berharap. Sementara kita pemerintah, masyarakat luas, bahkan saya sebagai penulis catatan ini ditantang untuk menjawab satu pertanyaan, berapa lama lagi mereka harus hidup di atas rakit bambu, sementara jembatan impian itu dibiarkan menunggu waktu runtuh?