Mamuju, SuaraSulbar.id – Di tengah arus zaman yang membungkam nurani dan menidurkan kesadaran, sekelompok anak muda di Mamuju memilih untuk tidak diam. Mereka menggugat bukan dengan amarah, tapi dengan gagasan dan keberanian bicara.
Itulah yang terjadi pada momentum sumpah pemuda, ketika AGORA Arena Gagasan Rakyat menggelar Panggung Ekspresi Pemuda di Bundaran Mamuju, Jalan Yos Sudarso, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. 28/10/25
Di bawah langit, suara puisi menggema, orasi kepemudaan meletup, dan diskusi terbuka menelanjangi realitas sosial yang kian kehilangan arah.
Semua berpuncak pada pembacaan teks Sumpah Pemuda, yang kali ini tak lagi terdengar seperti seremonial tahunan melainkan sumpah baru bagi generasi yang menolak dibungkam.
AGORA yang kerap disapa Arena Gagasan Rakyat kini menjelma menjadi ruang tanding gagasan bagi anak muda Sulawesi Barat.
Sebuah wadah yang melawan diam, menolak pasrah, dan berani memantik kesadaran di tengah budaya bungkam.
Salah satu peserta, Irham, mengaku tergetar dengan atmosfer acara itu.
“Ini bukan panggung hiburan, tapi panggung kesadaran. AGORA membuka ruang bagi kami untuk berbicara tentang apa yang selama ini disembunyikan, kegelisahan, kritik, dan mimpi-mimpi yang direbut dari tangan kami,” ungkapnya penuh emosi.
Lebih tajam lagi, Presidium AGORA, Ray Akbar, menegaskan bahwa Sumpah Pemuda bukanlah dokumen sejarah mati, tapi sebuah manifestasi perlawanan yang mesti dihidupkan kembali oleh generasi kini.
“Kita sedang hidup di zaman ketika kebenaran dikalahkan oleh pencitraan, dan kritik dikubur oleh ketakutan. Sumpah Pemuda bukan untuk dikenang, tapi untuk diperjuangkan. Kami ingin mengembalikan api itu, dari Mamuju untuk Indonesia,” tegas Ray Akbar di hadapan peserta.
Ia juga menyerukan agar pemuda Sulawesi Barat berani melawan pembodohan dan propaganda yang menyesatkan.
“Kritik bukanlah ancaman, dan gagasan bukanlah dosa. Kita harus berani bicara jujur, karena masa depan negeri ini akan hancur jika generasi mudanya takut berpikir,” ujarnya lantang.
Bagi AGORA, panggung ekspresi ini bukan akhir, melainkan awal dari gerakan panjang kesadaran. Gerakan yang ingin mengembalikan nilai kejujuran, keberanian, dan nasionalisme yang sejati bukan yang dimonopoli oleh seragam dan simbol.
Suara anak muda di Bundaran Mamuju malam itu bukan sekadar gema peringatan, tapi tanda kebangkitan.
Bahwa di tengah segala kebisingan kekuasaan dan kesunyian nurani, masih ada pemuda yang memilih untuk bangkit, melawan, dan bicara.













