Mamuju, Suarasulbar.id — Jembatan gantung Pebulahangan bukan sekadar bentangan tali baja dan papan kayu. Ia adalah nadi kehidupan yang menghubungkan dua desa di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat.
Melalui jembatan itu, masyarakat Desa Lombang Timur dan Salu Tahongan meniti harapan setiap hari, mengais rezeki, berangkat ke sekolah, dan menjaga denyut kehidupan keluarga mereka. Namun kini, jembatan itu nyaris ambruk.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat tak lagi berani melintas, memilih menyeberangi sungai berarus deras menggunakan rakit kayu seadanya, mempertaruhkan keselamatan demi bertahan hidup. Anak-anak generasi penerus bangsa bahkan harus rela berhenti bersekolah untuk sementara waktu karena akses satu-satunya menuju sekolah telah rusak parah.
Namun di tengah keputusasaan itu, muncul secercah harapan. Yudi Sudirman, anggota DPRD Kabupaten Majene, bersama Ajbar Abdul Kadir, anggota DPR RI Dapil Sulawesi Barat, hadir membawa semangat dan kepedulian.
Dua sosok kader terbaik Partai Amanat Nasional ini menunjukkan bahwa di balik jabatan politik yang kerap dipandang dingin, masih ada nurani dan jiwa kemanusiaan yang hangat berpihak kepada rakyat kecil.
Keduanya memilih bertindak ketika laporan masyarakat masuk. Mereka turun langsung, menggerakkan swadaya masyarakat dan merogoh uang pribadi untuk memperbaiki jembatan yang telah rusak dua pekan lamanya.
“Kehadiran kami ini panggilan hati,” tutur Yudi Sudirman dengan nada lirih namun tegas.
Jiwa Humanisme yang tinggi, memanggil raga dan nurani mereka untuk hadir ditengah tengah masyarakat desa, sebagai Wakil dari Rakyat yang asanya hampir pupus.
“Saya tidak tega melihat saudara-saudara kita di Desa Salu Tahongan dan Lombang Timur menyeberangi sungai pakai rakit seadanya. makanya saya bersama Pak Ajbar, berinisiatif memperbaikinya.” Ucapnya
Bagi Ajbar Abdul Kadir, langkah itu bukan sekadar respons politik, tapi gerakan moral. Ia menyebut, laporan dari kader partai di lapangan menjadi pintu masuk kepedulian nyata.
“Kami mendapat laporan dari Pak Sudirman, lalu saya minta data teknis, apa yang bisa dibantu agar jembatan bisa berfungsi kembali. Alhamdulillah, kami bersama masyarakat gotong royong, dari pagi sampai siang agar jembatan sudah bisa difungsikan kembali,” ungkap Ajbar.
Ia menegaskan, kawasan itu belum pernah ia kunjungi, bahkan saat masa kampanye. Namun, setelah melihat langsung kondisi jalan dan jembatan yang menyedihkan, ia merasa terpanggil.
“Saya merasakan betul penderitaan masyarakat. Jalan rusak, jembatan gantung putus, padahal itu satu-satunya akses. Mereka baru merasakan sedikit kemerdekaan yang hakiki. Ini harus kita teruskan bersama,” katanya dengan suara serak menandakan kepeduliaan lahir dari hati nuraninya.
Tak ada seremoni, tak ada baliho, tak ada kamera protokoler. Hanya warga, kayu, paku, dan semangat gotong royong. Swadaya kecil itu menjadi bukti bahwa kepedulian tak selalu harus menunggu anggaran pemerintah.
“Ini bukan soal anggaran,” lanjut Ajbar.
menurutnya ini adalah kewajiban para Pemimpin
“Ini soal nurani. Kalau setiap pemimpin mau membuka mata dan telinga, saya yakin hal-hal kecil seperti ini bisa kita selesaikan bersama.” tegasnya
Kini, anak-anak di Salu Tahongan kembali melintas menuju sekolah. Para petani dapat membawa hasil kebun tanpa harus mempertaruhkan nyawa di atas rakit.
Masyarakat menyebut jembatan itu bukan lagi sekadar penghubung dua desa, melainkan simbol kepedulian yang lahir dari nurani dua putra terbaik Sulawesi Barat.
Dari Pebulahangan, harapan kembali menapak. Bukan karena bantuan besar atau proyek megah, tapi karena satu hal sederhana, kemanusiaan yang bekerja tanpa pamrih.
Penulis : Muhammad Taufiq Hidayat