Mamuju, Suarasulbar.id — Puluhan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mamuju (Unimaju) menggelar aksi demonstrasi bertajuk “Revolusi Mahasiswa Unimaju” di Kampus 2 pada Kamis, 11 Desember 2025.
Aksi ini muncul sebagai bentuk kekecewaan atas kondisi fasilitas kampus yang dinilai memprihatinkan serta ketidakjelasan sejumlah kebijakan kemahasiswaan.
Mahasiswa menilai fasilitas belajar di Kampus 2 Unimaju banyak yang tidak lagi layak digunakan. Kursi ruang kuliah rusak, pendingin ruangan (AC) tak berfungsi, hingga sarana penunjang pembelajaran yang terbengkalai menjadi alasan utama turunnya kenyamanan proses perkuliahan.
Salah satu orator aksi, Iwan, menegaskan bahwa tuntutan pembenahan fasilitas bukan hal baru.
“Aspirasi ini sudah berkali-kali kami sampaikan, mulai dari audiensi dengan Rektor hingga aksi sebelumnya. Tapi tetap saja sebatas wacana. Kondisi kampus masih memprihatinkan, terutama kursi ruang kuliah yang banyak rusak,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa mahasiswa membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) setiap semester sehingga wajar bila menuntut fasilitas yang layak.
“Kami hanya menyuarakan fakta di lapangan. Fasilitas banyak yang rusak tapi tidak diperbaiki,” tegasnya.
Selain persoalan fasilitas, massa aksi juga menyoroti Pedoman Kemahasiswaan yang hingga kini belum ditetapkan secara resmi. Mereka menilai lokakarya penyusunan pedoman tak kunjung dilaksanakan, sehingga menimbulkan kebingungan dan polemik di kalangan mahasiswa.
Padahal pedoman tersebut penting sebagai acuan aktivitas kemahasiswaan agar lebih tertib dan terarah.
Koordinator lapangan aksi, Awink, mengecam pencopotan spanduk salah satu lembaga internal kampus tanpa konfirmasi.
“Tindakan ini bentuk ketidakhormatan terhadap lembaga internal dan pelecehan terhadap marwah organisasi kami. Siapa pun yang mencopot harus bertanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga mencurigai waktu pencopotan tersebut, mengingat baru-baru ini tim asesor melakukan asesmen akreditasi di Unimaju. Menurutnya, keberadaan lembaga internal justru menjadi bagian penting dalam penilaian akreditasi, terutama terkait keaktifan kegiatan akademik dan nonakademik mahasiswa.
Sejumlah orator lain turut menyerukan kewaspadaan terhadap potensi penyalahgunaan Program KIP Kuliah. Dengan banyaknya mahasiswa Unimaju yang masuk melalui jalur KIP, mereka menegaskan tidak boleh ada pihak mana pun yang memanfaatkan program tersebut untuk pungutan liar (pungli).
“KIP adalah hak mahasiswa, bukan ruang bagi siapa pun mencari keuntungan pribadi,” seru salah satu peserta aksi.
Aksi “Revolusi Mahasiswa Unimaju” menjadi sinyal kuat bahwa ketidakpuasan mahasiswa terhadap pengelolaan kampus semakin menguat. Mereka menuntut perubahan konkret, bukan sekadar janji. Mahasiswa berharap rektorat segera mengambil langkah nyata dan membuka dialog terbuka yang menghasilkan keputusan serta tindak lanjut jelas.
Dengan meningkatnya tekanan publik internal, kini bola berada di tangan pimpinan Unimaju—apakah akan menjawab tuntutan mahasiswa secara serius atau membiarkan masalah ini terus berulang.
Penulis : Ardiansyah
Editor : Opick












